Gerakan
Pramuka lahir sebagai sebuah keputusan politik, hal mana didahului dengan
keputusan politik MPRS tahun 1960 yang berupaya membersihkan sisa-sisa paham
Baden Powell pada organisasi kepanduan. Penamaan Pramuka pun lebih berbau
politis karena pada saat itu di sebagian negara komunis menyelenggarakan
pendidikan kepanduan dengan nama pionir, dan pramuka dipandang sebagai padanan
kata dari pioner dibandingkan pandu. Pramuka diartikan sebagai selalu
dimuka (pioner). Sedangkan pandu sendiri merupakan terjemahan dari scout
yang merupakan gagasan dari Baden Powell dan diartikan sebagai orang yang
senantiasa memandu atau menolong. Karena keputusan politik itulah maka
organisasi ini sekarang lebih dikenal dengan pramuka daripada pandu.
Sri
Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Kwartir Nasional pertama yang kemudian
menerjemahkan pramuka sebagai praja muda karana dipandang sebagai upaya untuk
mengeliminir istilah pramuka dari padanan kata pioner yang lebih berbau
komunis pada saat itu. Konon terbitnya Keputusan Presiden nomor 238 Tahun 1961
juga penuh dengan pergulatan politik, bahkan dokumen ini tidak ditandatangani
oleh Soekarno namun oleh Pejabat Presiden Ir. H. Djuanda pada tanggal 20 Mei
1961. Pada saat itu Presiden Soekarno sedang melawat ke luar negeri, pertanyaan
yang mengemuka adalah mengapa tidak menunggu Presiden pulang ke tanah air dan
segenting itukah penandatanganan penyatuan puluhan organisasi kepanduan ke
dalam Gerakan Pramuka sehingga tanpa harus menunggu kepulangan Soekarno?
Pertanyaan yang sampai sekarang belum dijelaskan kepada publik secara gamblang.
Konon versi keputusan presiden yang akhirnya diterbitkan berbeda dengan draf
yang masuk ke staf kepresidenan. Adalah H. Mutahar yang memberikan informasi
adanya draf yang berbeda itu kepada Sri Sultan dan akhirnya mendesak Pejabat
Presiden untuk segera menandatangani Keputusan Presiden 238 tahun 1961
sebagaimana kita kenal sekarang ini.
Namun
demikian pada tanggal 14 Agustus 1961 toh akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan
panji-panji Gerakan Pramuka kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama. Tanggal itulah yang kemudian
diperingati menjadi Hari Pramuka. Jika pada awalnya terdapat keputusan politik
untuk membersihkan sisa-sisa paham Baden Powell, maka tugas yang diemban Sri
Sultan adalah membersihkan pengaruh komunis pada tubuh Gerakan Pramuka. Karena
pada proses awal pembentukannya Gerakan Pramuka dipandang sebagai organisasi
yang potensial bagi komunis untuk mengembangkan sayapnya.
Pergulatan
politik itulah yang akhirnya membawa Gerakan Pramuka masuk di sekolah pada awal
masa orde baru. Dikhawatirkan akan ditunggangi oleh eks-PKI, maka Gerakan
Pramuka dititipkan di sekolah. Sehingga bermunculan Gugusdepan yang berpangkalan
di sekolah sebagaimana kita kenal sekarang ini. Dan ini akhirnya menjadi
gerakan yang sifatnya masif bahkan siswa diwajibkan mengikuti kegiatan
kepramukaan atau minimal menggunakan seragam pramuka pada hari tertentu di
sekolah.
Pemassalan
pendidikan kepramukaan di sekolah menyebabkan penerapan sistem beregu dan
sistem tanda kecakapan sebagai roh utama pendidikan kepramukaan menjadi sulit
karena keterbatasan jumlah pembina. Bagaimana mungkin sistem beregu dan sistem
tanda kecakapan dapat dijalankan oleh satu orang pembina yang menghadapi
ratusan peserta didik karena siswa di sekolah diwajibkan mengikuti pendidikan
kepramukaan? Akhirnya pendekatan klasikal yang paling mungkin diterapkan, yang
pada gilirannya latihan kepramukaan menjadi pelajaran kepramukaan.
Karena
itulah dalam rangka revitalisasi Gerakan Pramuka menurut hemat saya pertama
kali yang perlu dilakukan adalah revitalisasi organisasi Gerakan Pramuka dengan
mengembalikan gugusdepan ke masyarakat. Gugusdepan berbasis masyarakat akan
lebih fleksibel dalam menerapkan metode kepramukaan hal mana ketika gugusdepan
berada di sekolah metode kepramukaan sebagai ciri utama pendidikan kepramukaan
tereliminasi sehingga pendidikan kepramukaan kehilangan jati dirinya.
Ketika
gugusdepan berbasis di masyarakat maka keanggotaan tidak lagi bersifat masif
dan organisasi akan lebih mampu mengurusi anggota. Pembina akan lebih optimal
dan intensif melakukan proses pendidikan kepramukaan yang berkualitas
berdasarkan metode pendidikan kepramukaan. Gugusdepan berbasis masyarakat juga
akan mengoptimalkan pergaulan teman sebaya di lingkungan anak, remaja dan
pemuda peserta pendidikan kepramukaan. Pada tataran inilah Gerakan Pramuka akan
lebih mampu menjadikan organisasinya sebagai sebuah gerakan dalam membangun
karakter bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar